Pandangan Konflik dan Politik Kekerasan Agraria

Pandangan Konflik dan Politik Kekerasan Agraria

Pandangan Konflik dan Politik Kekerasan Agraria – Sebuah negara tentunya tidak akan terlepas dari yang namanya politik untuk dapat di jalankan dengan sangat baik dan juga sangat benar.

Di Indonesia, kekerasan layaknya hadir bergandengan tangan dengan masyarakat. Salah satu budaya kekerasan yang akrab didengar adalah “keroyokan”, ketika masyarakat secara kolektif menghakimi dan menghukum seseorang yang dianggap telah melakukan tindak kriminal tanpa melalui proses hukum yang berlaku, dengan cara ramai-ramai menganiaya orang tersebut. Varshney, Tadjoeddin, dan Panggabean dalam “Creating Datasets in Information-Poor Environments: Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003)” melihat bahwa terdapat empat bentuk kekerasan kolektif di Indonesia yang dapat dikategorikan menjadi: (1) kekerasan etno-komunal (antar etnis, antar agama), (2) negara versus warga (serangan pemerintah terhadap warga sipil), (3) ekonomi (konflik agraria, sumber daya alam), (4) lainnya (keroyokan, pembunuhan tanpa pengadilan).
Sebuah bentuk kekerasan kolektif, lebih spesifiknya kekerasan konflik political news agraria tengah menjadi di Punclut, Kawasan Bandung Utara (KBU). KBU merupakan penyedia air lantaran kawasan ini berperan sebagai daerah tangkapan air, serta paru-paru yang memberikan udara bersih bagi empat daerah di sekitarnya, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung. Konflik berawal ketika perusahaan pengemban melakukan alihfungsi lahan hijau yang merupakan wilayah lindung tempat resapan air dan perkebunan warga menjadi jalanan serta perumahan. Abah Atang, warga setempat Punclut, menyatakan bahwa tanah yang dialihfungsikan itu merupakan tanah milik negara, namun sudah dikelola oleh warga selama lebih dari 30 tahun.

Dirinya juga secara aktif melakukan penolakan terhadap pembangunan oleh perusahaan tersebut. Namun, perjuangan tersebut dipertemukan dengan itikad buruk perusahaan yang justru melakukan serangkaian intimidasi dan teror, baik pada Abah Atang, maupun pada petani lain yang turut menolak kehadiran perusahaan di tanah kediaman mereka.
“Bagi Abah mah satu pohon adalah satu nyawa Abah. Makanya kalau ada pohon-pohon dirusak tanpa tanggung jawab, Abah tak pandang siapa orangnya: Abah akan tegur langsung.” tegas Abah Atang, menyatakan keteguhannya dalam menjaga lingkungan.
Perusahaan menggunakan preman sebagai “bekkingan” mereka dalam menjalankan kekerasan terhadap Abah Atang. Pola ini merupakan warisan dari Orde Baru, dimana elit pada masa itu memelihara dan menggunakan preman demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Preman merupakan alat bagi mereka untuk menunjukan kekuasaan melalui kekerasan. Dalam dataset kekerasan yang diproduksi oleh Varshney, Tadjoeddin, dan Panggabean, pada tahun 1990-2003, terdapat 444 kekerasan dengan motif ekonomi yang terjadi di Indonesia.

Elizabeth Fuller Collins dalam “Indonesia, A Violent Culture” menelusuri benih yang menjelaskan mengapa kekerasan menjadi budaya yang sedemikian erat dengan masyarakat Indonesia. Menurutnya, Orde Baru merupakan rezim yang melahirkan dan melanggengkan budaya kekerasan di sejarah Indonesia. Ia pun mengidentifikasikan empat akar kekerasan yang berpusar di Orde Baru, yakni: (1) kegagalan institusi dan sistem peradilan, (2) kebijakan pembangunan, (3) tradisi kelompok pemuda paramiliter, (4) penggunaan paramiliter. Collins menjelaskan bahwa pada masa Orde Baru, kebijakan pembangunan yang memberikan izin teramat luas bagi perusahaan besar untuk melakukan penebangan, produksi kertas, perkebunan kelapa sawit, dsb., merupakan pemantik dari konflik antara warga lokal dengan perusahaan. Perusahaan kroni Suharto yang bergandengan dengan militer dapat mengambil alih banyak lahan hijau, sedangkan warga setempat mendapatkan intimidasi dan teror. Berkaca dari kejadian Abah Atang, dan ratusan petani yang bergumul dalam konflik agraria lainnya, dapat dikatakan bahwa kita belum sepenuhnya sembuh dari penyakit Orde Baru.